16/10/13

Jurnalis Di Perbudak Kapitalis

Hampir dipastikan seorang jurnalis tidak merasakan harta yang melimpah seperti yang dirasakan para aggota Dewan yang bermarkaskan di Senayan. Jurnalis hanya lah jurnalis, profesi yang hanya di perlukan oleh perusahaan yang dikuasai pemilik modal (Kapitalis) dan setelah itu bisa dipastikan tenaga dan pemikirannya tak diperlukan lagi.
Sistem kontrak yang dirasakan seorang kontributor atau koresponden pada media nasional yang bertugas di daerah sering mengeluhkan kesejahteraan saat menjalankan tugas. Telah banyak tulisan kawan-kawan yang di postingkan dalam blog maupun wall di media jejaring sosial. Untuk itu, saya pun ingin meneruskan tulisan berupa opini yang kadang menurut orang itu salah maupun tidak. Ikut melanjutkan inspirasi para jurnalis lepas untuk berbagi ide dan gagasan dalam tulisan ini.
Sebagai pekerja di salah satu media lokal di tanah kelahiran saya, Padang. tidak bosan-bosannya penulis ingin memastikan bahwa  “jurnalis juga buruh” atau "Kapitalis masih Ada". Semoga dengan opini singkat dan sederhana ini bisa bermanfaat untuk kita khususnya para jurnalis yang di kekakang oleh sistem kapitalis yang tengah menggerogoti kita demi kemajuan para teman-teman sekalian.
Pada prinsipnya, saya sependapat bahwa jurnalis memang dapat disebut sebagai buruh. Sebutan ini, muncul seiring dengan perkembangan zaman dunia pers atau media massa masuk dalam institusi industri. Dan menempatkan jurnalis sebagai salah satu bagian dari sistem proses produksi.
Dengan kemampuan yang dimiliki seorang profesi wartawan dengan tanpa imbalan besar, tentu tidak bisa mendukung kinerja mereka dengan maksimal. Apakah ini sebagai bentuk dari Industrial Press yang membuat wartawan disebut sebagai buruh?.
Bahkan kita juga sering mendengar, bukan hanya sekadar persepsi publik yang dulu sering menyebut jurnalis sebagai “kuli tinta” . Namun sang jurnalis-nya sendiri, dulu juga sering menyebut dirinya sebagai “kuli tinta”. Sebutan ini, muncul karena proses pekerjaan-nya masih menggunakan tinta.
Di zaman serba modern seperti saat sekarang ini,  para jurnalis dapat  menikmati  teknologi yang canggih untuk mengirimkan berita yang didapat di lapangan. Meski begitu, sebutan “kuli” masih kerap melekat pada seseorang yang bekerja sebagai  jurnalis.
Meski demikian, jurnalis sangat berbeda dengan buruh kasar lainya, selain mempunyai sebuah keahlian dalam mengolah, menyimpan, mendapatkan data dari narasumber, jurnalis bertanggung jawab atas keahlian-nya secara profesional yang diikat dan terikat oleh sebuah kode etik tertentu. Sehingga jurnalis juga dapat disebut sebagai profesi seperti yang tertuang dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Meskipun sama-sama bekerja sesuai dengan profesinya, ternyata jurnalis berbeda dengan seorang dokter atau lawyer. Jika dokter atau pengacara bisa melakukan tawar menawar dengan pasien atau klien-nya. Namun, jurnalis beda dengan lawyer atau dokter. Dalam hubungan kerja antara jurnalis dengan perusahaan media-nya, nyaris tidak ada proses tawar menawar.Memang membingungkan. !!
Inilah salah satu fenomena yang terjadi pada dunia kerja seorang pers.  Banyak  industri penerbitan atau media massa yang telah mempekerjakan orang, hampir tidak ada yang tunduk dan mematuhi hukum ketenagakarjaan yang ada. Baik dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, Keputusan Kenteri Tenagakerja (Kepmenaker) , Peraturan Pemerintah (PP) tentang ketenagakerjaan, serta hasil ratifikasi ILO yang ada dan berlaku di Negara kita. Semua seakan berlalu dimata industri media massa.
Hampir semua kekentuan yang ada dalam hukum perburuhan, apapun jenis usahanya wajib untuk membuat perjanjian kerja bersama/ kesepakatan kerja bersama (PKB/KKB). Dalam proses pembuatan KKB/PKB ini, tidak boleh sepihak. Melainkan antara perwakilan buruh dan pengusaha, duduk bersama dalam satu meja untuk membahas kesepakatan kerja bersama ini. Hasil kesepakatan kerja ini, baru dapat dianggap sah dan berkekuatan kekuatan hukum tetap (inkraah), jika sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara majikan dan buruh), kemudian diketahui dan ditandatangani oleh perwakilan dari unsur pemerintahan (dinas tenaga kerja).
Dari tulisan yang pernah saya baca, pengalaman seorang  seorang koresponden dari sebuah stasiun televisi yang ada di Indonesia, mengenai buruh kontrak. Dalam tulisan yang di postingkan Sidik Suhada pada 2008 lalu lewat blognya bernama http://bennyaziz.wordpress.com menyebutkan, adanya surat perjanjian kontrak antara salah satu stasiun televisi nasiolan dengan pekerjanya di daerah sebagai koresponden. Dalam blog tersebut dikatakan, koresponden itu dengan bangga dapat bekerja  menjalani profesi-nya sebagai jurnalis, setiap tahun selalu menerima dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja. Sebagai seorang yunior, tentu saya hanya bisa diam. Meskipun dalam hati saya, sempat muncul sebuah pertanyaan, kok bisa? Selama 11 tahun bekerja menjadi jurnalis disebuah stasiun televisi nasional dan ternama, hingga kini masih menjadi buruh kontrak. Alias tidak pernah diangkat menjadi buruh tetap.
Dengan begitu, timbul pertanyaan dalam benak saya. dimana dalam ketentuannya kontrak kerja untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap, memang ada dan diatur dalam hukum perburuhan kita. Namun jika perusahaan itu masih membutuhkan tenaga-nya, tidak diperbolehkan memperpanjang kontrak-nya hingga 11 kali. Melainkan. cukup dua kali, dan masa kontrak selama-lama- nya dua tahun.
Sementara jika pihak perusahaan masih membutuhkan tenaga dan fikiran-nya, serta menginginkan dia (buruh-nya) tetap bekerja di perusahaan itu. Pihak perusahaan wajib mengangkat-nya menjadi buruh atau karyawan tetap, setelah dua kali menjadikan-nya sebagai buruh kontrak.
Dalam sistem hubungan industrial kita, buruh kerja kontrak memang halal dan diperbolehkan. Namun hanya untuk jenis pekerjaan tertentu yang tidak bersifat permanen. Seperti kuli bangunan, kuli proyek, dan lain-lain yang bersifat tidak permanen. Artinya, dalam waktu tertentu jenis pekerjaan ini akan selesai dan berakir setelah gedung atau bangunan-nya selesai. Karena itu, sang majikan atau kontraktor-nya tidak bisa kewajiban mengangkat buruhnya menjadi karyawan tetap di perusahaan-nya. Karena itu, dalam hukum ketenagakerjaan kita dikenal istilah KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu).
Menurut pandangan saya, profesi jurnalis tidak bisa dijadikan sebagai buruh atau pekerja kontrak. Apalagi setiap tahun menandatangani surat perjanjian kontrak, hingga 11 kali. Karena pekerjaan wartawan bersifat tetap dan terus menerus. Sehingga kalau kita mengacu kepada KKWT (kesepakatan kerja waktu tertentu), baik yang diatur dalam peraturan pemerintah, kepmemnaker, maupun UU ketenagakerjaan, menjadikan wartawan sebagai kuli atau pekerja kontrak tentu tidak diperbolehkan. Kecuali industri media massa itu ingin menyiasati undang-undang yang berlaku di negara kita untuk sebuah kepentingan tertentu.
Orang yang tidak taat hukum memang sering mengatakan bahwa, “hukum di-buat-kan untuk dilanggar”. Jika media massa (baik cetak maupun elektronik) yang notabene sebagai tempat terakir untuk bersandar, warga menyampaikan berbagai ragam keluh kesah, ternyata juga tidak taat hukum. Sebagai seorang jurnalis mungkin kita hanya bisa mengelus dada. Duh, Gusti! Kepada siapa lagi masyarakat berharap, karena semua lembaga pemerintah dan parlemen, kini juga sudah tidak bisa dijadikan-nya lagi sebagai tempat mengadu.
Aneh memang. Namun itulah fakta. Karena dunia media massa juga termasuk istitusi industri. Ideal-nya sebuah industri tentu hanya berfikir, bagaimana cara-nya bisa meraih sebuah keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya. Maka jangan heran atau gumun, jika ada jurnalis yang digaji rendah dan dijadikan sebagai buruh kontrak sepanjang masa. Sebab dalam sistuasi serba sulit seperti ini, karena semua harga kebutuhan produksi dan alat produksi (termasuk biaya perawatan alat produksi) semua mengalami kenaikan. Satu-satu-nya jalan agar bisa tetap survive dan untung, pihak perusahaan tentu akan menekan upah buruh-nya.
Selain upah buruh-nya yang ditekan, perusahaan tentu akan memakai sistem kerja kontrak sepanjang masa dalam menjalin hubungan kerja dengan karyawan-nya. Karena dengan menjadikan buruh-nya menjadi tenaga kontrak, perusahaan tidak lagi berfikir untuk memberikan uang jasa dan tunjangan hari tua kepada buruhnya. Jika terjadi perselisihan dalam hubungan industrial, dengan mudah untuk meng-akiri hubungan kerja dan mem-PHK buruh-nya. Tanpa bingung memikirkan uang pesangon, karena cukup hanya memberikan uang tali asih. Nominalnya, suka-suka pihak pengusaha. Wong, hanya tali asih kok.
Melihat sepintas dari dasar hukum sistem kerja kontrak, tentu kita tidak bisa menyebut bahwa kontributor atau koresponden sebuah media massa sebagai buruh-nya media itu. Apalagi bagi kontributor yang tidak pernah diajak berunding dan merundingkan KKB/PKB. Bahkan disebut sebagai buruh kontrak pun tidak bisa, karena tidak pernah menerima penawaran dan menandatangani surat perjanjian kontrak kerja. Lalu apa?
Disebut sebagai sebagai wartawan freelance atau lepas, barangkali juga kurang tepat. Karena kontributor atau korespoden, tidak memiliki kebebasan mengirimkan atau menawarkan hasil liputan-nya ke media lain. Selain kepada media itu. Sebagai wartawan freelance, jika sewaktu-waktu kontributor kebobolan berita atau dibobol oleh wartawan dari media lain, ternyata juga dipersoalkan oleh perusahaan itu. Minimal kena tegur dan dimarahi. Kok Aneh yo?.
Yah, itulah realita. Wong Indonesia gitu! Sebagai jurnalis, posisi kontributor atau koresponden dalam hubungan industrial media massa, memang sangat lemah. Selain berada diposisi terbawah, di negara-negara yang mementingkan kapital seperti Amerika, kontributor atau koresponden juga sering disebut sebagai stringer atau pembantu dari sebuah media massa tertentu. Oleh kalangan jurnalis televisi di negara kita, stringer sering dimaknai sebagai pembantu-nya kontributor atau koresponden.
Namanya juga pembantu, dimata kalangan pengusaha media tentu menjadi wajar jika kontributor atau koresponden daerah, diposisikan sangat lemah dalam hubungan industrial ini. Sekalipun dalam menjalankan aktifitas pekerjaan-nya, kontributor sebagai jurnalis juga diikat oleh sebuah kode etik tertentu sesuai dengan profesinya. Namun posisinya tetap lemah seperti buruh yang ada di Indonesia saat ini. Namanya juga pembantu! Sehingga ketika majikan-nya sudah merasa tidak cocok ya tinggal dibuang. Alias diputus dalam hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon. Toh beres.
Jika sudah demikian, apa yang dapat dilakukan jurnalis. Menuntut pihak perusahaan pun tidak bisa. Karena tidak memiliki ikatan kerja. Mengadu kepada lembaga hukum yang ada jangan berharap ada yang bersedia membantu. Semua lembaga hukum atau dinas tenaga kerja, pasti akan menutup mata dan telinga. Lari kebirit-birit karena merasa takut terhadap media massa. Kok bisa, sekali lagi. Itulah hebatnya Indonesia

Sumber tambahan http://bennyaziz.wordpress.com. seorang jurnalis Video